Kadang aku merasa hidup ini seperti playlist yang diulang-ulang: bangun, kopi, kerja, chat singkat dengan teman, masak, tidur, ulang. Ujung-ujungnya teringat mimpi-mimpi kecil yang dulu membuatku melek sampai tengah malam, menulis tanpa henti atau menggambar sampai tinta habis. Sekarang? Tinta masih ada, tapi jarang disentuh. Aku menulis ini sambil menatap tumpukan cucian yang menunggu, wangi deterjen masih segar di udara—ironisnya, wangi itu lebih konsisten hadir daripada inspirasi.
Rutinitas bukan musuh
Banyak yang bilang rutinitas itu membunuh kreativitas. Aku sempat menelan mentah-mentah kalimat itu dan merasa bersalah karena menikmati kepastian: alarm yang berbunyi sama setiap pagi, rute yang sama ke kantor, dan kantong teh yang selalu kuambil persis di rak kedua. Tapi slow down. Rutinitas juga punya kebaikan. Dia memberi struktur ketika dunia terasa berantakan, memberi ruang untuk hal-hal kecil yang menenangkan: menggosok gigi sambil berdiri di depan cermin, memeriksa tanaman monstera yang entah kenapa selalu miring, atau menulis satu baris jurnal sebelum tidur.
Ada kenyamanan pada ritme yang teratur. Tidak semua kreativitas harus lahir dari kekacauan. Justru kadang, ritual kecil itu jadi platform: secangkir kopi yang sama tiap pagi menjadi waktu aku berpikir jernih. Jadi, aku mulai belajar menghormati rutinitas tanpa menyerah pada hasrat.
Di mana hasrat masuk?
Hasrat biasanya datang seperti tamu yang kurang sopan — muncul telat, berbicara lantang, dan mengacaukan jadwal. Pernah suatu malam aku memutuskan menghidupkan turntable tua dan memutar vinyl yang sudah retak; dalam lima lagu, aku menggambar sesuatu yang lucu dan aneh. Kertas bercecer, tinta menempel di jari, dan aku tertawa sendiri melihat coretan itu. Itu momen kecil yang mengingatkanku: hasrat tidak perlu parade besar. Ia bisa bersembunyi di sela-sela: di waktu tunggu kereta, di jeda iklan saat menonton serial, atau di 20 menit sebelum tidur.
Saat aku mulai memberi hasrat ruang, hal-hal aneh terjadi — aku jadi lebih sabar menghadapi rapat yang membosankan karena sudah menantikan 20 menit menggambar saat pulang. Hasrat membuat rutinitas terasa lebih manusiawi, memberi bumbu pada hari-hari yang bisa jadi hambar jika hanya berisi tugas dan deadline.
Bagaimana cara menyeimbangkan? (Praktis, dong)
Ada beberapa trik yang kupakai sendiri, sederhana dan kadang agak konyol. Pertama: blok waktu. Bukan blok waktu kerja, tapi blok waktu “aku”. Bisa 15 menit untuk membaca puisi, 30 menit akhir pekan untuk belajar akor gitar, atau satu jam tiap sore untuk berjalan tanpa tujuan. Aku menyisipkannya di kalender seperti janji penting—karena jika tidak ditulis, ia lenyap digerus email dan notifikasi.
Kedua: ritual mini. Ritual itu bisa sekecil menyiapkan secangkir teh secara ritualistik—memilih cangkir, menunggu air mendidih, menikmati aroma. Ketiga: reduksi pembanding sosial. Sering aku kepikiran, “Kenapa si A sudah sampai situ?” Padahal A tidak harus menjadi patokan. Kenali kecepatanmu dan rayakan pencapaian kecil: menyelesaikan satu bab buku, menyiram tanaman tepat waktu, atau hanya bangun tanpa menunda alarm sampai 10 kali.
Dan keempat: toleransi terhadap kekacauan. Menjaga diri bukan berarti harus sempurna. Kadang meja penuh kertas adalah tanda kreativitas yang sedang merintis kekacauan—biarkan itu ada, lalu rapikan setelah kamu selesai berpesta imajinasi.
Apakah menjaga diri itu egois?
Ini mungkin pertanyaan yang pernah mampir di kepala banyak orang. Dulu aku sering merasa bersalah jika mengambil waktu hanya untuk diriku sendiri. Tapi perlahan aku paham: kalau aku tidak terawat, bagaimana bisa aku memberi yang terbaik untuk orang lain? Merawat diri itu seperti mengisi daya ponsel—tidak egois, melainkan praktis. Seperti baterai yang penuh, aku menjadi lebih sabar, lebih kreatif, dan—anehnya—lebih produktif.
Aku juga pernah menemukan blog yang membahas kebiasaan-kebiasaan anehku, bacaannya lucu dan menghibur, bikin aku merasa tidak sendirian: exposingmychampagneproblems. Tiba-tiba terasa lega, karena ada orang lain yang juga berurusan dengan masalah “champagne” kehidupan sehari-hari—yang tampak glamor dari luar tapi berantakan dalam praktik.
Akhirnya, seni menjaga diri adalah soal membuat perjanjian kecil dengan dirimu sendiri: rutinitas untuk stabilitas, hasrat untuk warna. Tidak perlu mengorbankan salah satunya. Biarkan keduanya berdansa pelan, terkadang tersenggol, kadang berputar cepat, tetapi selalu kembali lagi ke ritme yang membuatmu merasa utuh. Dan kalau suatu hari kamu masih menatap tumpukan cucian sambil menggaruk kepala, ingat: sesuatu yang kecil—sebuah lagu, secangkir kopi, satu paragraf yang lucu—cukup untuk menyalakan kembali hasrat itu. Mulai saja, pelan-pelan, seperti menyalakan lampu di ruangan yang lama gelap.