Ada masa ketika saya mengejar kesempurnaan seperti mengejar bayangan. Setiap detail harus rapi, setiap rencana sempurna, dan setiap kegagalan terasa seperti aib yang harus ditutupi. Lama-kelamaan saya capek—capek karena standar yang tak bisa dipenuhi, capek karena selalu merasa kurang. Hingga suatu hari saya mulai bertanya: apakah hidup ini benar-benar tentang menuntut sempurna dari diri sendiri?
Ngomong-ngomong soal rutinitas: bukan soal menyerah
Saya bukan menyerah pada cita-cita besar atau membiarkan semua berantakan. Saya hanya memilih ritme yang lebih manusiawi. Bangun tanpa alarm yang memaksa, merapikan meja kerja sebentar saja, memasak yang cukup enak untuk makan siang — bukan untuk feed Instagram. Hidup jadi terasa lebih ringan ketika saya menukar “harus sempurna” dengan “cukup baik hari ini”. Yah, begitulah, sederhana tapi berdampak.
Kenapa keseimbangan terasa lebih realistis
Keseimbangan bukan arti kata sama rata untuk semua hal. Ada minggu ketika saya bekerja lembur dan mengorbankan sedikit waktu tidur. Ada minggu lain ketika saya memilih jalan-jalan sore tanpa memegang handphone. Intinya adalah fleksibilitas. Dengan keseimbangan, saya bisa pulih lebih cepat dari kegagalan kecil, merasa hangat ketika bertemu teman, dan tetap produktif tanpa merasa bersalah karena sesekali santai.
Curhat kecil: momen yang mengubah perspektif
Satu momen kecil yang mengubah saya adalah ketika saya melewatkan presentasi sempurna karena kebiasaan menunda. Alih-alih mengutuk diri, saya menuliskan pelajaran: persiapan yang konsisten lebih aman daripada persiapan berlebihan pada detik terakhir. Sekarang saya membuat to-do list yang realistis dan memberi ruang untuk hal-hal tak terduga. Banyak teman bilang saya lebih “tenang”, mungkin karena saya sudah belajar menerima ketidaksempurnaan.
Manfaat keseimbangan yang sering diremehkan
Keseimbangan membawa beberapa hal: kesehatan mental yang lebih baik, kualitas hubungan yang meningkat, dan kreativitas yang kembali muncul. Saat tidak lagi mengejar kesempurnaan, saya menemukan ide-ide kecil muncul di pagi hari saat minum kopi, bukan cuma di tengah-tengah jadwal yang padat. Saya juga jadi lebih sering mengatakan “tidak” untuk hal yang memang tidak penting, tanpa merasa bersalah.
Saya sering membaca pengalaman orang lain tentang hal ini, dan salah satu blog yang kadang saya kunjungi sangat jujur soal dilema modern — exposingmychampagneproblems. Membaca pengalaman nyata orang lain membuat saya merasa tidak sendirian.
Bagaimana praktiknya di kehidupan sehari-hari
Praktik sederhana yang saya lakukan: menjadwalkan jeda kerja, memasang batas waktu pada proyek, dan memberi reward kecil setiap minggu. Saya juga belajar meminta bantuan ketika bingung, dan membiarkan rumah sedikit berantakan saat sedang sibuk, tanpa drama. Kebiasaan-kebiasaan kecil itu membentuk keseimbangan besar yang terasa stabil setiap hari.
Jangan salah: bukan berarti tanpa tujuan
Saya tetap punya target: menulis lebih banyak, belajar hal baru, atau memperbaiki kebiasaan olahraga. Bedanya, target itu fleksibel dan terukur. Saya tidak mengejar angka yang membuat stres; saya mengejar progres yang membuat saya bangga. Mencapai tujuan sambil menikmati proses — itu yang saya pilih sekarang.
Untuk siapa pun yang masih terjebak mengejar sempurna: coba beri jeda pada diri sendiri. Coba beri ruang untuk menikmati hal kecil yang sering terlewat. Bukan berarti luntur ambisi, tapi menata ulang cara kita meraih ambisi itu supaya tak menguras hidup.
Kalau ditanya apa nasihat saya singkatnya: fokus pada keseimbangan. Hidup yang seimbang tidak selalu mudah, tapi lebih berkelanjutan. Anda bisa mencapai banyak hal tanpa kehilangan momen-momen kecil yang membuat hidup layak dinikmati. Yah, begitulah: saya memilih keseimbangan, dan itu membuat hari-hari terasa lebih penuh, bukan lebih sempurna.